Manusia dan Amanah
Friday, January 21, 2011 | Author:
Oleh : Drs. H. Syamsun Aly, MA.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
(72) Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,
[QS. al-Ahzaab (33): 72]
Ditinjau dari segi lughawi (arti bahasa) maka amanah berasal dari kata amanatan yang berarti kepercayaan. Serumpun dengan kata amana yang berarti beriman/mengamankan Dari sini dapat ditarik suatu pengertian bahwa hakekat orang beriman (mu’min) itu adalah orang yang dapat menjaga/mengamankan kepercayaan (amanah) yang diberikan kepadanya. Sebaliknya, tidak (sempurna) iman seseorang jika ia tidak bisa menjaga amanah atau berkhiyanah.

Dahulu ketika Allah menawarkan amanah kepada para makhlukNya yang bernama langit, bumi dan gunung, tak satupun yang bersedia untuk menerimanya karena merasa keberatan dan takut tidak bisa menunaikannya dengan baik. Hanya manusialah yang siap untuk menerimanya padahal sebenarnya dia juga tidak memiliki kemampuan untuk itu. Sehingga Allah memberi predikat pada nya sebagai makhluk yang dhalim lagi bodoh.

PANDUAN ISLAM TERHADAP AMANAH.
Manusia sejak awal memang sudah disetting oleh Allah untuk menjadi kholifah di bumi (QS. 2 : 30), dalam upaya mengemban amanahNya, yakni memimpin dan memakmurkan bumi ini sesuai dengan kehendakNya. berupa terwujudnya sebuah kehidupan yang baik dan selalu mendapat ampunan Allah (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur).

Oleh karena itu jika diserahi amanah (jabatan) yang dianggap mampu untuk memikulnya, maka ia tidak boleh menolak amanah tersebut, dengan catatan jika ia punya waktu untuk menunaikannya.
Dalam hal amanah ini, Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila amanah diterlantarkan maka tunggulah saat (kehancuran) nya. Salah seorang shahabat bertanya : bagaimana dengan menelantarkan amanah itu wahai Rasul Allah? Jawab Beliau : apabila diserahkan amanah kepada selain ahlinya (bidangnya) maka tunggulah saat (kehancuran) nya.”
(H.R. Al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a.)

Maksudnya, setiap orang harus diserahi amanah sesuai dengan bidangnya. Untuk mengurus masalah pembangunan serahkan pada ahli sipil dan arsitektur, untuk mengurus kesehatan serahkan pada ahli kesehatan atau dokter, untuk mengrus perekonomian serahkan pada pakar ekonomi dan untuk mengurus masalah keagamaan serahkan saja pada ahli agama, demikian seterusnya. Sehingga betul-betul ditangani secara profesional dan tidak asal-asalan.

Islam melarang seseorang meminta atau mencari-cari jabatan. apalagi dengan menfitnah saudara seiman dan menghalalkan segala cara, yang biasanya terjadi dalam kalangan birokrasi, dunia usaha dan politik, demi kepentingan jangka pendek (keuntungan dunia semata), karena hal itu bukan akhlak Islam dan sangat dibenci oleh Allah yang Maha Rahman.

Islam mengajarkan bahwa jabatan itu adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban (kullukum ra’in wa kullukum mas-ulun ‘an ra’iyyatihi), baik oleh sekelompok masyarakat yang memberikannya, maupun oleh Allah yang Maha Kuasa. itulah sebabnya maka para sahabat dahulu merasa berat kalau mendapat amanah atau jabatan, sehingga ungkapan yang muncul saat menerima nya bukan ucapan alhamdulillah melainkan inna lillah. Demikian halnya dengan para tokoh Islam d n pimpinan Muhammadiyah zaman dahulu, yang rebutan mundur jika mendapat amanah jabatan pimpinan, karena bisa rumangsa dan bukan rumangsa bisa. (baca tulisan Nurchlis Huda dalam buku Anekdot tokoh-tokoh Muhamadiyah bagian awal).

Kini zaman sudah berubah, tidak hanya jabatan basah seperti birokrasi, politik dan dunia usaha yang jadi rebutan, namun jabatan dalam organisasi keagamaan yang penuh dengan amanah perjuangan dan tanpa imbalan uang, juga ikut jadi ajang rebutan. Ada apa dibalik semua itu kawan?

Oleh karena itu, dalam memasuki tahun baru hijriyah 1432 ini, perlu kita tata kembali niyat dan jihad kita, karena itu merupakan esensi hijrah pasca fathu Makkah, agar jiwa kita selalu ikhlash dan istiqamah, tidak terkontaminasi oleh kepentingan dunia semata dan agar jihad atau perjuangan kita memperoleh hasil dan ridla Allah swt.
This entry was posted on Friday, January 21, 2011 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: