وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَشْكُرُونَ
Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).
[QS Yunus (10): 60]
Kebohongan telah menjadi trend kebijakan dan benar-benar disengajat untuk mengelabui, ketika itu dilakukan oleh orang awam yang tidak memiliki jabatan dampaknya barangkali relative kecil dan terbatas namun tetap memberikan kerugian pihak lain, dan jika yang melakukan adalah mereka yang berilmu tinggi, memiliki jabatan strategis dan lebih-lebih berkedudukan di lahan yang “basah, maka dampak yang diakibatkannya sungguh luar biasa besarnya, dan kondisi seperti itu lagi-lagi mengisi lembaran yang menyakitkan bagi kehidupan bangsa Indonesia, itulah sang koruptor yang berjulukan “kerah putih”.
White collar crime (Kejahatan kerah putih) merupakan istilah yang dikemukakan oleh Hazel Croal, untuk menyebut aksi kejahatan dilembaga pemerintahan baik melibatkan hubungan structural maupun individual dengan menyalahgunakan jabatannya. Kesempatan untuk melakukan aksinya itu didukung oleh adanya fakta potensi kekeyaan bangsa yang luar biasa besarnya namun kurang didukung oleh perangkat hukum dan system kerja yang memadai, lebih-lebih ditampilkannya pribadi-pribadi yang tidak kompeten untuk menduduki jabatan yang strategis dan basah, sehingga berbagai rekayasa dan manipulasi dapat dengan mudah dilakukan dan lebih fatalnya fungsi kewenangan dan pengawasan tidak jelas siapa yang harus melakukannya sebagai bentuk tanggungjawab kinerjanya. Maka tidak heran kiranya berbagai sajian tindak kejahatan kerah putih terus beraksi dan silih berganti untuk menggerogoti kekayaan negeri
Merajalelanya kejahatan kerah putih ini sebagai pertanda lemahnya perangkat hukum yang ada untuk bisa mengawal dan menjamin rasa keadilan, sehingga menurut Danny Indrayana berdasarkan data Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2002 mengumumkan Indonesia sebagai Negara paling korup di Asia dengan skor 9,92, skor Indonesia ini bahkan mengagetkan pihak PERC sendiri karena memburuk di era reformasi. Skor yang nyaris sempurna ini benar-benar semakin meyakinkan betapa parah kejahatan korupsi ini, dan betapa rapuhnya jaminan penegakan keadilan, sehingga pelaku korupsi yang sering digambarkan tikus-tikus itu bebas berkeliaran dan melibas kekayaan Negara demi pemuasan nafsu serakahnya.
Merajalelanya aksi kerah putih, membuat Patrialis Akbar sebagai Menteri Hukum dan HAM memungkinkan sekali penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi, pernyataan Pak Menteri kita itu merupakan pertanda betapa tidak efektifnya hukuman yang selama ini diberikan kepada kerah putih sehingga tetap semakin semarak, maka dengan upaya hukuman mati ini diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi para pelaku-pelaku korupsi berikutnya. Disamping itu ada alasan yang logis atas penerapan hukuman mati tersebut, bahwa para koruptor telah melanggar dan menginjak-injak Hak Asasi Manusia (HAM), mereka berpesta dansa, berfoya-foya, bergelimang harta di atas penderitaan masyarakat yang masih terlilit kemiskinan.
Mahfud MD selaku ketua Mahkamah Konstitusi, menyatakan seharusnya Indonesia lebih banyak belajar kepada negar Latvia dan China yang semula sebagai Negara koruptor sekarang menjadi Negara yang bersih karena ketegasan dalam penerapan hukuman bagi para pelaku korupsi, hingga Oktober 2007 di China sudah ada 4.800 pejabat yang dihukum mati. Lagi-lagi kita hanya pandai berwacana saja antara yang pro dan yang kontra hingga belum ada kata akhirnya, sedang bagi para koruptor tidak perlu banyak wacana tetapi langsung aksi pelaksanaannya.
Seperti halnya di Negara-negara yang sedang berkembang, ternyata korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia, berakar pada masa pemerintahan monarki absolud tradisional yang berlandaskan budaya feudal, dimana kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial (Weber) yang berkembang pada kerangka kekuasaan feodal dan memungkinkan suburnya nepotisme. Dalam struktur kekuasaan yang demikian, maka penyimpangan, penyuapan, korupsi dan pencurian akan dengan mudah berkembang (Mochtar Lubis, 1995).
Perbuatan korupsi adalah setiap pemberian yang dikaitkan dengan kedudukan atau jabatan tertentu. UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa seseorang dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila : Melakukan perbuatan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara; Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negari; Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat sesuatu kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya.
Terjadinya semaraknya korupsi ini, dismping karena rapuhnya mental / karakter yang ada, juga didukung oleh adanya seperangkat system yang rapuh dan longgar dari kepengawasan sehingga sangat dimungkinkan dilakukannya kejahatan korupsi, serta ringannya putusan hukum bagi para pelaku korupsi ini, dan lebih menyakitkan lagi adanya praktek mafia hukum yang menjual belikan putusan yang akan ditetapkan. Tragis sekali rasanya menyaksikan terbongkarnya berbagai kasus korupsi diberbagai instansi yang ada, namun lagi-lagi putusan yang berkeadilan dan berperikemanusiaan masih jauh dari harapan, maka wacana kerah putih dihukum mati patut untuk terus dijadikan petimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan tersebut.
Indrayana meyakinkan bahwa kinerja KPK mengalami kesulitan menembus didinding pada wilayah korupsi politik dan korupsi peradilan, sebagai sel inti korupsi sebenarnya yang terus berkembang biak. Hujatul Islam Imam Ghazali berkata : “ Agama adalah sawah bagi akhirat, dan tidak sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar dua. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu yang tidak berpondasi akan roboh dan Sesutu yang tidak dijaga akan lenyap. Disiplin Pemerintahan tidak akan sempurna kecuali dengan kekuasaan, kedisiplinan dalam penetapan hukum adalah melalui pemahaman yang mendalam tentang Islam ”.
0 komentar: