Haji Kita, Antara Cita-Cita dan Fakta
Saturday, January 08, 2011 | Author:
Oleh : dr. Tjatur Priambodo

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
(197) (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
[QS. al-Baqarah (2): 197

Minggu-minggu ini banyak kita saksikan bersama, sambutan atas kedatangan para jamaah haji. Saat berangkat dulu, kita rasakan bersama betapa kebahagiaan menghiasi wajah mereka dan sejuta harapan telah tertanam dalam lubuk hati mereka, manakala saudara-saudara kita tadi meninggalkan kampung halamannya terbang menuju kiblat umat Islam sedunia, memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berharap mereka menjadi Haji Mabrur.

Tatkala seorang haji tiba di ka’bah, dan sebelumnya dia sudah mengetahui bahwa pemilik rumah (ka’bah) tidak berada di sana, maka dia berputar mengelilingi rumah, Thawaf yang mengisyaratkakn bahwa ka’bah bukanlah maksud dan tujuan. Tetapi tujuannya adalah pemilik rumah. Begitu pula mencium Hajar Aswad, bukan berarti dan bukan karena menyembah batu, melainkan karena mengikuti sunnah Rasul. Karena beliaulah yang mencontohkan kita untuk melakukan demikian. Inilah pembeda antara Muslim dan Musyrik. Dulu orang Musyrik mencium batu karena untuk menyembahnya. Sangat berbeda dengan Muslim yang mencium batu untuk mengikuti sunnah Rasul.

Para ulama menganjurkan bahwa kewajiban pertama bagi calon haji adalah bertaubat. Bertaubat dari semua dosa dan maksiat, baik calon haji itu seorang petani, pegawai, polisi, artis, dokter, menteri maupun seorang kyai, laki-laki maupun perempuan , tua maupun muda. Inilah yang disyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
(197) Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
[QS. al-Baqarah (2): 197


Tentu saja kita sudah maklum bahwa taqwa itu tidak bisa dicapai kecuali dengan bertaubat dan meninggalkan segala jenis perbuatan maksiat. Kalau calon haji sudah bertaubat maka ia akan mampu memahami dan menjiwai syiar haji yang teramat indah itu:




Ia akan menghayati seolah-olah berucap: Ya Allah aku datang, aku datang, memenuhi panggilanMu. Lalu aku berdiri di depan pintuMu. Aku singgah di sisiMu. Aku pegang erat kitabMu, aku junjung tinggi aturanMu, maka selamatkan aku dari adzabMu. Kini aku siap menghamba kepadaMu, merendahkan diri dan berkiblat kepadaMu. BagiMu segala ciptaan, bagiMu segala aturan dan perundang-undangan, bagiMu segala hukum dan hukuman, tidak ada sekutu bagiMu. Aku tidak peduli berpisah dengan anak dan istriku, meninggalkan profesi dan pekerjaan, menanggalkan segala atribut dan jabatan, karena tujuanku hanyalah wajah dan keridhaanMu. Jika calon haji sudah bertaubat maka ia pasti akan mampu mencapai hakekat haji yang telah digariskan oleh Allah, dalam firman-Nya:

فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(197) barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
[QS. al-Baqarah (2): 197

Seorang yang beribadah haji tidak boleh melakukan Rofats yaitu jima dan segala ucapan dan perbuatan yang behubungan dengan seksual. Tidak boleh melakukan Fusuq yaitu segala bentuk maksiat dan tidak boleh melakukan Jidal yaitu perdebatan yang mengikuti hawa nafsu, bukan untuk mencari kebenaran.

Maka barang siapa yang telah sukses memenuhi perintah Allah tersebut ia akan mendapatkan Haji Mabrur, yang diantara tandanya adalah sepulang haji ia tidak akan mengulang maksiat dan dosa-dosa yang lalu. Ia akan tampil sebagai Muslim yang shalih dan Muslimah yang shalihah. Maka sebuah negara yang semakin banyak muslim dan muslimah yang taat, maka negara itu akan semakin aman makmur dan sentosa. Maksiat dan kemungkaran akan menepi, perjudian dan pencurian akan sepi, perzinaan dan pembunuhan akan mudah diatasi. Penyakit khronis Korupsi akan terkikis habis. Apalagi jika yang pergi haji adalah Presiden, Gubernur, Bupati, Menteri, Jaksa, Hakim dan Polisi.

Sepulang haji yang kikir akan menjadi dermawan, yang kasar akan menjadi halus dan yang biasanya menyebar kejahatan berubah menebar salam dan manfaat. Itu semua manakala hajinya mabrur. Namun banyak kenyataan yang kita saat ini adalah bagaikan siang yang dihadapkan dengan malam, semuanya bertolak belakang, mereka tidak mengambil manfaat dari ibadah haji selain menambah gelar atau meminta dipanggil Pak Haji dan Bu Hajjah. Yang korup tetap korup malah semakin korup, yang artis panas tetap artis panas, yang lintah darat tetap lintah darat, yang jahat tetap jahat, bahkan ada yang sepulang haji, maksiatnya semakin meningkat, naudzu-billah. Maka tidak heran jika Rofats, Fusuq dan Jidal marak dimana-mana sampai terjadi krisis moral, krisis nilai, krisis kemanusiaan, krisis politik, lingkungan, ekonomi dan sosial. Krisis Multi Dimensial. Bagaimana dengan haji Anda?

Makna haji,seharusnya merubah sesuatu yang jelek menjadi baik, yang baik menjadi semakin baik. Semoga Allah menjadikan haji kita yang dahulu dan yang akan datang menjadi haji yang Mabrur, dan semoga dijauhkan dari haji yang Maghrur (tertipu) dan Mabur. Amin
This entry was posted on Saturday, January 08, 2011 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: