Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya
“Haji itu adalah (dilaksanakan) sebelum Menikah”
[HR. Ad Dailami dalam Musnad Firdaus dimuat oleh As Suyuthi pada “Jami’ush Shaghir”]
PENJELASAN SANAD DAN RAWI HADITS:
Dalam riwayat ini ada seorang Rawi yang bernama “ Ghiyats bin Ibrahim ” yang dikatakan oleh Adz Dzahabi Matruk (ditinggalkan haditsnya).
Imam Al Albani berkata : “Diketahui Dia berdusta”, Imam Ibnu Ma’in menyebutnya “Pendusta yang Buruk”. Demikian juga Abu Dawud menyatakan “Kadzab” (pendusta).
Sedangkan Imam Ibnu Adi mengkomentarinya, hadits - haditsnya semua diduga Maudhu’ (Palsu).
Rawi lain yang Bernama “ Maisarah bin Abdu Rabih ” disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi “ Kadzab Masyhur ” (pendusta yang terkenal).
Jadi dengan komentar para ulama hadits tersebut, maka kedudukan hadits ini adalah “Maudhu” (palsu).
Adapun dalam hadits yang lainnya terdapat suatu yang kontradiksi, yaitu :
“Barang Siapa berhaji sebelum Menikah sungguh dia telah memulai berbuat Maksyiat”.
[HR. Ibnu Adi]
Jalur periwayatan hadits ini seperti berikut : Ibnu Adi --- Ahmad bin Jumhur --- Muhammad bin Ayub --- Bapaknya (Raja’ bin Rauh) --- Putri Wahab bin Munabih --- Wahab Munabih --- Abu Hurairah.
Jalur periwayatan Ibnu Adi ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab “Al Maudhu’at”.
Imam As Suyuthi dalam kitabnya “Al Laili Wal Masharu’a”. mengatakan bahwa Ahmad bin Jumhur meninggal dalam kondisi berdusta.
Dengan demikian hadits inipun mempunyai kedudukan juga Maudhu’ (palsu). Tidak bisa dijadikan Hujjah.
KESIMPULAN:
Hadits yang menganjurkan ber-Haji sebelum menikah maupun hadits yang mencela Haji sebelum menikah kedua-duanya Maudhu’ (Palsu), sehingga tidak bisa dijadikan Hujjah.
Oleh karena itu, maka orang boleh saja berhaji sebelum Menikah atau sesudah Menikah, sesuai dengan yang dikehendakinya.
0 komentar: