Ada lagi model pelatihan yang wajib kita ikuti bersama, waktunya satu bulan penuh. Orang yang berhasil dalam pelatihan ini akan mendapat predikat Muttaqin. Yang akan membawa pengamalnya dalam kehidupan yang bahagia di dunia dan di akherat. Tapi sayang, mayoritas orang yang ikut dalam pelatihan ini hanya mendapat lapar dan haus saja. Ini terlihat dari perilaku kebanyakan manusia, apabila keluar dari bulan Romadhon, ternyata kegiatan yang diwajibkan pada bulan suci itu tidak dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya. Wal hasil, sebelum dan sesudah Romadhon prilakunya sama saja.
Ber-Qurban adalah model pelatihan yang dicontohkan oleh Bapak monoteisme, Ibrahim alaihissalam. Walaupun diuji untuk berqurban apa saja oleh Tuhan-nya, Ibrahim a.s. berhasil melaksanakannya dengan luar biasa. Jangankan hartanya, dirinya sendiri siap untuk dipanggang dalam api yang menyala-nyala, istri dan anaknya yang masih bayi harus ditinggal di padang tandus tanpa penghuni. Tidak berhenti sampai disitu, beliau sendiri yang disuruh oleh Allah untuk memenggal leher putra yang dicintainya. Karena keberhasilannya tersebut, Ibrahim Alaihissalam dijadikan oleh Allah SWT sebagai salah satu manusia terkasih (Khalilullah) dan tapak tilasnya selalu diikuti manusia sepanjang jaman. Namun, realitanya, masih banyak di antara kaum muslim yang enggan berqurban. Padahal, kata nabi, barang siapa mampu berqurban tetapi ia enggan melakukannya; "jangan ia menghampiri tempat sholatku."
Yang satu ini pelatihan spiritual yang luar biasa, terbesar dalam sejarah hidup manusia. Tak tertandingi oleh apa pun, bahkan sampai kapan pun, dalam jumlah peserta di satu area. Brosur atau undangan sudah disebar sejak Bapak para Nabi masih hidup ribuan tahun yang lalu. Undangan diabadikan oleh Si Pengundang dalam kitab suci-Nya yang di hafal oleh jutaan manusia, tanpa bisa dirubah apalagi dihapus.
"Dan kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan ibadah haji!" "Suaraku tidak akan terdengar oleh mereka ya Allah."
"Yang penting seruhkan panggilan tersebut, Kami akan memperdengarkannya."
Demikianlah sekelumit dialog antara Allah SWT dengan Nabi Ibrahim Khalilullah .yang ditemukan riwayatnya dalam berbagai kitab tafsir.
"Mengerjakan Haji adalah wajib bagi manusia, bagi yang sanggup." (Ali Imron : 97).
Inilah pelatihan spiritual yang diikuti oleh jutaan manusia dari segala penjuru dunia. Tidak terhalang oleh bahasa, warna kulit, budaya atau Negara, dengan satu tujuan untuk mencari ridho Allah SWT. Agar hasil pelatihan ini dapat maksimal, maka harus membawa bekal yang baik.
"Berbekallah kalian, dan sebaik-baik bekal adalah Taqwa." (Al Baqoroh 97).
Itulah bekal yang dianjurkan untuk dibawah, bukan yang lainnya. Pelatihan ini dimulai dengan niat karena Allah (lillah). Sambil menanggalkan semua atribut pakaian sehari-hari kita dan diganti dengan pakaian ihrom. Yaitu dua lembar pakaian berwarna putih yang mengingatkan kita pada kain kafan yang digunakan untuk membungkus orang mati (mayat). Orang yang mati akan meninggalkan hartanya, jabatannya, keluarganya, bahkan semua miliknya kecuali amalnya. Adakah kita sadar bahwa pakaian kita sehari-hari akan kita tinggalkan seperti ini. Kalau sudah begini, bekal apa yang harus kita siapkan. Apakah momen tersebut bisa menjadi salah satu perenungan kita saat kita pulang dari ibadah Haji. Wallahu a’lamu bish-showwab.
Kalau belum, Coba renungkan sekali lagi, ketika sedang wukuf di Arofah. Padang yang luas lagi gersang, seluruh jamaah harus berhenti sampai terbenamnya matahari. Di sanalah seharusnya mereka menemukan ma’rifah pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya. Dan betapa kecil kita ini di hadapan Tuhan semesta alam. Menggugah kesadaran kita dalam penantian pengadilan untuk mempertanggung jawabkan semua amal perbuatan selama menjalani kehidupan di dunia. Tiada pembela, apalagi penolong, semua sibuk untuk menolong dirinya sendiri. Dan saat seperti ini tiada berguna semua yang kita miliki, jabatan, harta kekayaan bahkan menjadi alat untuk menyiksa kita. Dalam kondisi yang sangat sulit, maka yang sanggup membela hanya amal sholeh kita. Adakah bekal tersebut sudah kita siapkan secara maksimal, oleh karenanya setelah pulang dari ibadah haji kita harus lebih baik dari sebelum berangkat. Dan inilah salah satu tanda haji mabrur.
Oleh: Achmad Sudja'i
0 komentar: