Pendahuluan
Salah satu komitmen kita sebagai warga Negara Indonesia adalah menghargai dan menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri, yang sudah berakar dan menyejarah dalam kehidupan bangsa. Kesadaran atas kebhinekaan inilah yang membuat kehidupan bangsa bisa bersatu meski ada banyak keragamaan suku, bangsa, bahasa, dan agama tidak menghalangi untuk mewujudkan persatuan sebagai suatu keharusan.
Para pendiri bangsa sudah memberikan keteladanan untuk menjaga persaudaraan, persatuan dan kerukunan hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebagai perekat dari berbagai keragaman yang ada, sehingga kita sebagai generasi penerus kehidupan bangsa merasa terpanggil untuk menjaga, dan melindungi falsafah Negara dari berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merusak persatuan.
Persatuan bangsa adalah salah satu pilar utama dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran, lebih-lebih pada akhir-akhir ini kondisi bangsa yang semakin terpuruk, kesejahteraan yang diharapkan masih jauh dari harapan, kerukunan sebagai penyokong persatuan berubah menjadi kekerasan social, sehingga kehidupan yang kondusif menjadi distruktif. Tidak ada suatu bangsa yang mencapai kebesaran, kecuali jika bangsa itu meyakini suatu hal, dan kecuali jika sesuatu yang diyakini itu mempunyai dimensi-dimensi moral untuk menopang peradaban besar[1]. Bangsa besar ini harus ditopang oleh orang-orang yang berpikiran besar untuk kemajuan dan perubahan, sehingga bangsa Indonesia benar-benar diperhitungkan, bukan sebaliknya dijadikan kelinci percobaan kebijakan global.
Kebermaknaan Iman
Suasana relegius dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia merupakan prestasi yang membanggakan, dimana tumbuhnya rumah-rumah ibadah sebagai kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh untuk melakukan ritual keagamaan secara khusuk, sebagai wujud kesadaran keilahiaan. Ibnu Tufail menyatakan dalam novelnya, Hayy ibn Zagzhan, mengajarkan kepada kita bahwa kesadaran keilahian telah terbentuk dan inheren di dalam diri manusia.[2] Sehingga tidaklah mungkin manusia mengingkari akan kesadaran keilahiannya, namun masih banyak diantara manusia yang masih saja mengingkarinya, sehingga kesadaran keilahian dikotori dan dirusak oleh nafsu kerendahan dan keserakahan.
Berbahagialah mereka yang komitmen dengan keimanannya, dan dengan keimanannya itu terus dilakukan kebermaknaan yang signifikan, meski banyak godaan dan gangguan konsistensinya atas keimanannya itu tidak membuat mundur sedikitpun, mereka benar-benar merasakan kelezatan dan manisnya iman. Al Qur’an surat An-Nahl : 97
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴿٩٧﴾(97)Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Selanjutnya Rasulullah Muhammad SAW bersabda, Dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda:
"Tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang maka ia akan menemukan manisnya iman yaitu mencintai Alloh dan Rosul-Nya melebihi cintanya kepada selain keduanya, mencintai seseorang hanya karena Alloh, dan ia benci untuk kembali ke dalam kekufuran (setelah Alloh menyelamatkannya) sebagaimana ia benci untuk dicampakkan [dalam riwayat lain dilemparkan] ke dalam api neraka."Keimanan memiliki dimensi vertikal, ketika kita mampu mendekatkan diri secara maksimal dalam membentuk kesadaran keilahian sehingga dalam peribadatan itu kita benar-benar sadar akan kemahakuasaan-Nya, sekaligus berdimensi sosial, ketika kita mampu merefleksikan keimanan itu dalam ruang dan dinamika kehidupan di masyarakat, disitu adanya kepedulian, kebersamaan, keharmonisan, persaudaraan dan kerukunan. Kebermaknaan keimanan baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal sesunguhnya tidak dapat dipisahkan, karena jika dipisahkan akan tidak sempurna lagi.
[HR.Bukhari]
Dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (LDKG-PGI, Keputusan Sidang Raya XII PGI Jaya Pura 21-30 Oktober 1994 point B tentang : Hubungan dan Kerjasama dengan Golongan Beragama dan Berkepercayaan Pada Tuhan Yang Maha Esa, nomor 83) Dalam usaha gereja mewujudkan tugas panggilannya untuk memberi kesaksian di tengah masyarakat majemuk, maka gereja gereja dalam keterbukaannya hendaklah mengadakan serta membina hubungan dan kerjasama dengan semua golongan , termasuk dengan golongan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (1 Kor 9 :19-23 ; Kol 3 :11)[3], sehingga jelas iman kristen selalu mendorong adanya kebersamaan dengan semua golongan sebagai wujud panggilan untuk kemanusiaan dari dorongan keimanan yang penuh makna.
Kerukunan Sebuah Keharusan
Menilik hasil penelitian Harian Kompas (16 Agustus 199) terhadap 1.540 pemilik telpon di Jakarta, Yogjakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Aceh, Pontianak, Ujung Pandang, dan Manado atas pertanyaan : Dari berbagai permasalahan bangsa, persoalan apakah yang anda khawatirkan terjadi sebagai penyebab perpecahan bangsa ?, dan di jawab sebagaimana tabel berikut :
No | Penyebab Perpecahan Bangsa | Prosentase |
1 | Pertikaian antar agama | 40,1% |
2 | Pertikaian antar suku bangsa | 27% |
3 | Pertikaian antar pendukung Partai | 8,8% |
4 | Pertikaian antar golongan kaya – miskin | 7,7% |
5 | Pertikaian antar daerah | 5,9% |
6 | Tidak ada yang perlu dikhawatirkan | 3,0% |
7 | Tidak tahu atau tidak menjawab | 6,9% |
Kekhawatiran sebagian masyarakat atas kondisi rusaknya kerukunan dan ketahanan nasional patut kita apresiasi dalam arti bagaimana tetap menjadikan kerukunan sebagai suatu keharusan, lebih-lebih melihat permasalahan agama memberikan kontribusi sebesar 40,1 %, sehingga kita sebagai hamba yang beriman memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan kontribusi mewujudkan kerukunan. Keimanan merupakan energi kehidupan yang mencerahkan ketika keserakahan dan kebodohan menjadi komandan inspirasi kebijakan, keimanan adalah lentera penyelamatan ketika kehidupan dirundung kegelapan yang menghinakan.
Keimanan yang sempurna mampu bersinergi dengan berbagai keragaman untuk mewujudkan kerukunan, karena kerukunan merupakan konsekwensi logis dari buah keimanan, sehingga tidaklah mungkin keimanan berbuah kekerasan, pemaksaan kehendak hingga menebar teror yang menakutkan. Maraknya berbagai bentuk aksi anarkhis yang akhir-akhir ini sering terjadi dan selalu dikait-kaitkan dengan ajaran agama sesungguhnya bertolak belakang dengan nilai-nilai ajaran agama yang universal seperti kemuliaaan, kedamaian, kerukunan, persaudaraan yang penuh keindahan. Kemunculan berbagai aksi anarkhis tersebut memanfaatkan sintemen keagamaan utuk menguatkan keyakinan para pelaku tetapi sesungguhnya itu merupakan bentuk pelecehan atas ajaran agama.
________________________________________
[1] Majid, Nurcholish, Islam, Kemodernan dan keindonesiaan,PT Mizan Pustaka, Bandung,2008,188
[2] Gusmian,Ishlah, Setiap Saat Bersama Allah, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2006, 70
[3] PGI, Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, 1994
0 komentar: