Tercapainya kesejateraan manusia baik lahir maupun batin merupakan bagian dari tujuan syariat Islam. Konsep-konsep ubudiyah dalam ajaran Islam menunjukkan orientasi yang tidak hanya berdimensi vertikal, tetapi juga horizontal. Salah satu di antaranya yang mempunyai orientasi kesejahteraan vertikal dan horizontal adalah wakaf.

Kata Wakaf, secara harfiah, tidak ditemukan dalam al-Quran, tetapi ketentuan tentang , wakaf dapat ditemukan dalam ayat-ayat al-Quran misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 267, 

“Hai orang-orng yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian yang baik-baik dari hasil-hasil usahamu dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu, dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk di antaranya untuk kamu nafkahkan.”

Selain itu, ketentuan tentang wakaf juga ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Jama’ah disebutkan;

“Dan dari Ibnu Umar bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah dari tanah Khaibar.”  Kemudian ia bertanya (kepada Rasulullah), “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah kudapat sama sekali yang lebih baik selain tanah itu, lalu apa yang hendak engkau perintahkan kepadaku?. Nabi menjawab ; “Jika engkau suka, tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya.”Kemudian Umar menyedekahkannya dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi; yaitu untuk orang-orang fakir, untuk keluarga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu, dan untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil); dan tidak berdosa orang yang mengurusinya untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik.”


Dan dalam satu riwayat dikatakan, “ ……… dengan syarat jangan dikuasai pokoknya.”

Ayat dan hadits di atas memberikan pandangan dan arahan tentang sifat harta yang diwakafkan, pengelola wakaf dan pemanfaatannya. Harta yang diwakafkan merupakan bagian dari harta yang terbaik yang dimiliki si wakif. Harta tersebut dikelola dengan baik sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dan pengelolanya tidak mengurangi atau menghilangkan harta yang diwakafkan. Sementara itu pemanfaatan hasil hartanya diperuntukkan bagi orang-orang fakir, keluarga dekat, memerdekakan budak, menjamu tamu, orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan, dan untuk orang yang mengurusinya (Nazir).

Dalam sejarah umat Islam, wakaf ternyata memberikan kontribusi terhadap penyejahteraan umat Islam baik lahir maupun batin. Di beberapa Negara Islam, wakaf memiliki peran yang sangat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Umat Islam di Mesir sangat merasakan peran wakaf dalam mensejahterakan mereka. Demikian halnya di Arab Saudi dan Yordania; wakaf berperan besar dalam pembangunan Negara. Di ketiga Negara tersebut wakaf berkembang seiring dengan perkembangan perekonomian Negara. Hal ini disebabkan wakaf dikembangkan secara produktif. Harta yang diwakafkan pun bermacam-macam, dan pada umumnya sangat potensial untuk dikembangkan. Misalnya; Kebun kurma, kebun anggur, pabrik dan apartemen.

Keberhasilan wakaf di Negara-negara Islam sangat didukung oleh institusi pengelola wakaf, profesionalitas dan integritas para pengelolanya, serta dukungn pemerintah. Regulasi tentang wakaf yang jelas dan apresiatif terhadap perkembangan zaman merupakan unsur penting yang mendorong keberhasilan wakaf dalam menyejahterakan umat dan masyarakat.

Di Indonesia, wakaf sudah ada semenjak Islam masuk ke Indonesia. Bahkan Indonesia termasuk Negara yang banyak memilki wakaf. Pada tahun 1991 – menurut data Departemen Agama Republik Indonesia – jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 319.214 lokasi. Namun, wakaf sebanyak itu belum dapat mendorong kesejahteraan umat Islam khususnya maupun warga Negara Indonesia pada umumnya. Berdasar penelitian Dr. Uswatun Hasanah, M.A. tentang pengelolaan wakaf di Jakarta Selatan, 74,62% tanah wakafnya dimanfaatkan untuk tempat ibadah (masjid, mushala dan langgar). Sedangkan sisanya, yaitu 25,38% dimanfaatkan untuk sekolah, pesantren, dan sarana pendidikan lainnya. Data di atas menunjukkan bahwa tanah wakaf yang ada di Jakarta Selatan belum mampu berperan banyak dalam menyejahterakan masyarakat Jakarta Selatan secara maksimal. Data tersebut juga menunjukkan ketidaktampakkan fungsi wakaf yang lebih berorientasi kepada produksifitas yang bersifat ekonomis, sehingga dapat mengatasi pendanaan yang diperlukan dalam pengelolaannya dan dapat menyejahterakan masyarakat.

Pengaturan wakaf di Indonesia sudah dikeluarkan melalui UU No. 5 tahun 1960 tentang agraria dan PP No.28 tahun 1977. Namun yang terakhir ini mempunyai keterbatasan karena hanya mengatur wakaf tanah milik; selain itu tidak diatur. Di samping itu, pengetahuan masyarakat (terutama pengelola wakaf dan wakif) atas PP mengenai wakaf masih sangat minim. Hal ini ditandai dengan banyaknya kejadian di lapangan yang tidak  sesuai dengan PP No. 28 tahun 1977 tersebut. Tampaknya harus dilakukan perubahan atas peratuaran tersebut karena perkembangan masyarakat beserta implikasi-implikasinya membutuhkan perangkat hukum yang memadai. Peraturan perundang-undangan tentang wakaf yang mampu mendorong masyarakat untuk mengembangkan tanah wakaf yang tidak hanya berdimensi ritual tetapi juga produktif dan ekonomis – menjadi sangat penting diwujudkan mengingat begitu banyaknya tanah wakaf di Indonesia yang harus dikelola.

Pengetahuan masyarakat tentang wakaf menjadi permasalahan tersendiri yang perlu diantisipasi. Orientasi wakaf yang hanya diarahkan kepada ritualitas ubudiyah yang bersifat vertical tanpa dibarengi dengan visi produktivitas dan ekonomi tampaknya perlu diubah. Sudah saatnya lembaga wakaf di Indonesia dikelola secara professional sehingga dapat berperan aktif dalam mengatasi permasalahan ekonomi yang sedang terjadi di negeri ini; paling tidak dapat mengatasi problem pendanaan yang dihadapi oleh institusi wakaf itu sendiri. Sosialisasi wakaf sebagai institusi yang cukup signifikan dalam menyelesaikan permasalahan perekonomian dengan menitik beratkan kepada produktivitas institusi wakaf harus terus digalakkan sehinggan masyarakat menyadari pentingnya pengelolaan wakaf yang berorientasi kepada produktivitas dan penyejahteraan masyarakat baik lahir maupun batin. Sementara itu pemerintah yang sampai saat ini belum menunjukkan keseriuannya dalam menjadikan lembaga wakaf sebagai lembaga yang cukup signifikan dalam penyejahteraan masyarakat diharapkan lebih aktif mendorong masyarakat untuk memberdayakan lembaga wakaf. Dorongan tersebut dapat berupa fasilitas yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk membentuk suatu lembaga yang mempunyai daya kerja yang kuat dalam pengelolaan wakaf secara profesional.
This entry was posted on Saturday, April 04, 2009 and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: