Mengemban Amanah dalam ajaran Islam merupakan salah satu pilar utama untuk tegaknya keadilan, sehingga siapapun orangnya diharapkan mampu menjaga amanah yang diembannya, dan lebih-lebih bagi seorang pemimpin yang telah mendapat mandat dari rakyat untuk memaksimalkan kinerjanya. Al Qur’an telah mengulang beberapa kali tentang amanah ini sebagai pedoman dan petunjuk kebenaran, agar dalam menjalankan amanah ini tetap tertuju pada kebenaran.يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ(27) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
[QS. al-Anfaal (8): 27]
Sebagaimana yang tertuang dalam Al Qur’an surat An Nisa’ : 58 agar amanah ini diberikan kepada yang berhak menerimanya, bukannya yang meminta-minta untuk diberi amanah; Al Baqarah : 283 menyandingkan dalam menunaikan amanat dengan tetap bertaqwa; Al Ahzab : 72 tentang kesanggupan manusia dalam memikul amanah; Al Anfaal : 27 tentang keserasian sikap orang yang beriman yang tidak berkhianat terhadap Allah dan Rasulnya serta amanat yang dipercayakan kepadanya; Al Mukminuun : 8 untuk selalu memelihara amanat.
Rangkaian ayat-ayat Al Qur’an di atas semakin menyadarkan kepada kita bahwa dalam mengemban amanah ini tidak diperoleh begitu saja, lebih – lebih seperti perilaku murahan yang mempergunakan uang ataupun imbalan jasa lainnya untuk mendukungnya, jika cara ini yang dilakukan berarti telah menodai amanah, sehingga kinerjanyapun tidak maksimal dan akan melakukan jika mendapatkan imbalan yang selalu diharapkannya.
Sungguh ironis jika suatu jabatan / kedudukan yang diemban diparalelkan dengan berbagai fasilitas yang disediakan, bukannya dengan tanggung jawab. Suatu ketika Abu Dzar RA, menginginkan jabatan yang bersifat strategis pada Rosulullah Muhammad SAW, sebagaimana dalam hadits Muslim : “ Wahai Abu Dzar, kamu seorang yang lemah dan suatu jabatan.kedudukan yang bernilai tanggung jawab adalah sebuah amanat. DanSesunguhnya amanat itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan di hari Pembalasan, kecuali orang yang menerimanya dengan benar dan mampu menunaikan kewajibannya dalam amanat tersebut.” Sungguh luar biasa ketauladanan Rosulullah ketika memberikan kebijakan terkait tanggung jawab yang tidak sembarangan orang bisa menerimanya tetapi tetap diperhatikan integritas, kapabilitas, dan moralitas, sehingga dalam menjalankan amanatnya tidak ada kepentingan lain kecuali sebagai wujud ketaqwaan pada-Nya.
Toto Tasmara dalam bukunya Kecerdasan Ruhaniyah, memberikan penjelasan bahwa amanah adalah titipan yang menjadi tanggungan, bentuk kewajiban, atau utang yang harus kita bayar dengan melunasinya sehingga kita merasa aman dan terbebas dari segalan tuntutan. bertanggung jawab berarti kemampuan seseorang untuk menunaikan amanah karena adanya harapan atau tujuan tertentu. Prof.Dr. Thohir Luth memberikan pencerahan bahwa penerima amanah sebenarnya telah memiliki landasan moral yang teramat mulia, yaitu dipercaya orang karena kejujurannya.
Kejujuran pemimpin suatu kalimat yang sangat indah yang bukan sebatas wacana ataupun slogan saja tetapi benar-benar teraktualisasikan dalam sikap dan kebijakannya, sehingga yang dipimpin merasakan sikap kejujuran pemimpin dan hak-haknya tidak terkurangi sedikitpun. Pemimpin yang demikianlah yang bertanggung jawab akan tugas yang diembannya, dan rela berkurban untuk kesejahteraan masyarakatnya, bukannya masyarakat menjadi korban kebijakannya sehingga kesengsaraan melilitnya. Selanjutnya Yusuf Qordhowi memperinci bahwa perbuatan seperti keadilan, rahmat, kebaikan, kejujuran, amanah, ikhlas, pemenuhan janji, kesucian, rasa malu, tawadhu’, kedermawanan, senang berbuat baik, memperhatikan hal-hal yang haram, berbakti kepada orangtua, silaturrohmi, menghormati tetangga, dan keutamaan-keutamaan lainnya merupakan kewajiban agama yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan ini termasuk cabangnya iman.
Jangan berikan amanah ini kepada mereka yang tidak memiliki kompetensi sesuai bidangnya karena akan semakin mengarah pada kehancuran, dan harapan yang dicitakan tertelan keangkuhan, kritikan yang menghunjam dilawan dengan kebodohan, mereka tidak mampu menangkap nilai-nilai kemuliaan dan terbuai oleh mimpi dan bisikan koleganya semata. Pemimpin menjadi pemimpi yang tidak cerdas dan bijak terhadap realita yang sesungguhnya terjadi disekitarnya. Perubahan pemimpin menjadi pemimpi sangatlah tipis sekali hanya satu huruf n saja, tetapi dampaknya luar biasa, dimana mereka hidup dalam bayang-bayang semu saja, karena kebohongan dianggap kebaikan, menghianati amanat sudah menjadi tradisi kebijakannya.
Kecerdasan mengemban amanah merupakan kesadaran akan tanggung jawab yang diembannya, sehingga tidaklah mungkin untuk dihianati, tetapi justru semakin menjadikan kekokohan jatidiri untuk mampu memberi solusi atas problematika yang terjadi, bukannya semakin membebani. Kecerdasannya semakin menunjukkan prestasi karena mampu memberikan pelayanan sepenuh hati, untuk peduli. Amanah merupakan wujud tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, wujud tampilannya adalah keterbukaan, kejujuran, kerja optimal, ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal.
Ibnu Taymiyyah mengatakan, sejatinya jujur dan ikhlas merupakan perwujudan iman dan Islam. Penganut agama islam terbagi dua mukmin dan munafik, keduanya dibedakan oleh kejujuran, sebab kemunafikan adalah dusta. Mengemban amanah bagi seorang mukmin akan selalu diprioritaskan, karena dari sanalah akan terbuka cakrawala bahwa amanah mampu menjadikan diri lebih mulia, dan segala sifat kehinaan tidaklah pantas disandingkan dengan keimanan, amanah menjadikan diri lurus akal, sehingga akan bersikap bijak, dan amanah merupakan wujud pribadi yang terpercaya. Laksanakan amanah dengan kesungguhan agar menjadi pribadi mulia.
0 komentar: