Soal Rokok, Ingatkan Opium pun Dulu Tak Haram
Mulai hari ini hingga 4 April Majelis Tarjih Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bermunas ke-27 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Menyambut rangkaian acara menuju Muktamar Muhammadiyah itu, Jawa Pos mengadakan diskusi kemarin (31/3). Berikut laporannya.
---
MAJELIS Tarjih dan Tajdid (MTT) merupakan organ Muhammadiyah yang diberi tugas menyikapi masalah modern dan kekinian. Salah satu produk dari lembaga ini adalah fatwa. Baru-baru ini fatwa majelis tarjih yang mengharamkan merokok mendapat perhatian luas. Banyak yang mengamini, banyak yang menolak. Termasuk yang tidak "mengamini" adalah Amien Rais, mantan ketua PP Muhammadiyah.
"Fatwa ini berlaku berangsur-angsur. Tidak serta-merta," kata Prof Dr Syamsul Anwar, ketua MTT PP Muhammadiyah, dalam diskusi di Gedung Graha Pena, Surabaya, kemarin (31/3). Muhammadiyah juga memikirkan bagaimana mengonversi petani tembakau menjadi petani kentang, misalnya. Sebab, banyak di antara petani tembakau itu warga Muhammadiyah juga.
Selain itu, dimaklumi pula bahwa perokok, termasuk yang warga Muhammadiyah, tidak bisa langsung stop merokok setelah keluar fatwa tersebut. "Kami memahami, ada proses untuk berhenti merokok," tambah dosen UIN Sunan Kalijaga itu. Yang penting ada kemauan untuk menyadari bahwa mudharat merokok jauh lebih banyak daripada manfaatnya (yang menjadi dasar pengharaman merokok).
Proses berhenti merokok yang tidak mudah itu juga diakui oleh Guntur Prayitno. Peserta diskusi tersebut mengatakan sulit melepas ketergantungan pada merokok. "Saya menyadari ini haram dan berdosa. Karena itu, sedapat-dapatnya berusaha berbuat baik sebanyak-banyaknya di bidang lain demi menutup dosa tersebut," kata kepala editor bahasa Jawa Pos tersebut.
Guntur mendukung sepenuhnya fatwa haram itu dan minta Muhammadiyah tidak surut langkah. Salah satu yang dia sadari sebagai muslim yang merokok adalah tidak sejalannya antara doa dan perbuatan. "Dalam doa, saya minta kesehatan, tetapi tetap melakukan perbuatan yang berlawanan dengan doa itu. Haramnya terutama di situ itu," ujarnya.
Meskipun tidak langsung diterima, MTT yakin bahwa fatwa tersebut sejalan dengan perkembangan kontemporer. Pengharaman itu merupakan proses panjang. Tembakau, bahan dasar rokok, memang tidak disebut dalam Alquran maupun hadis. Tembakau sebagai bahan rokok baru ditemukan sekitar 500 tahun lalu.
Sebagai sesuatu yang "baru", kata KH Muammal Hamidy Lc dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, waktu itu fikih menyikapi soal itu dari akibatnya. "Merokok tidak apa-apa, dianggap mubah. Kalau bau, merokok dianggap makruh. Kalau jadi teler, merokok dianggap haram," kata ulama senior itu.
Lama-kelamaan ditemukan mudarat tembakau dari segi kesehatan karena ilmu berkembang. Sangat banyak kajian ilmu kesehatan yang menyebut akibat buruk merokok. Dr M. Saad Ibrahim, koordiator Tarjih, Tajdid, dan Tabligh PWM Jatim, menyebut data pada 1999 rakyat belanja buku dan koran Rp 1,9 triliun, tetapi belanja rokok Rp 47 triliun. Orang miskin juga mengalokasikan pendapatannya untuk rokok dengan persentase sangat besar.
Kemudaratan itu makin kentara. "Maka, makin kuat dasar untuk mengharamkannya," tandas Muammal yang ayahnya pengusaha rokok itu. Minimal, dengan pengharaman tersebut, perokok akan "sungkan".
Bukan hanya rokok yang diharamkan secara berangsur-angsur. Prof Dr Hamim Ilyas, pakar dari MTT PP Muhammadiyah, memberikan contoh opium atau candu. Pada 1930-an, di Kotagede, pusat pengembangan Muhammadiyah, banyak pedagang dan pengguna candu. Waktu itu candu dianggap komoditas yang sah dan "tidak haram".
Kini candu dan narkoba umumnya menjadi barang ilegal. Umat Islam pun mengharamkannya. Meski tidak ada dalam Alquran dan hadis, tidak ada yang menentang pengharaman itu. Alasannya, salah satunya, mudarat merokok sangat besar daripada manfaatnya. Masyarakat menerima tanpa keberatan.
Penerimaan masyarakat itu, kata Hamim Ilyas, akan turut menentukan bagaimana penerapan fatwa haram merokok tersebut. Dia mencontohkan fatwa ulama Arab Saudi Abdul Aziz bin Baz yang mengharamkan radio dan televisi. Fatwa itu tidak laku karena orang tidak memedulikannya. "Terjadi kesenjangan antara official religion (agama baku elite, Red) dan popular religion (agama rakyat)," tandas Hamim yang guru besar UIN Sunan Kalijaga itu. Penerimaan umat pula yang akan jadi ujian fatwa rokok tersebut.
Bagaimana soal isu Muhammadiyah dalam hal kesenian, gender, dan pengeras suara? Baca kelanjutannya besok. (sep/c1/roy/el)
Sumber:
Jawa Pos Online
www dot jawapos dot co dot id /halaman/index.php?act=detail&nid=125897
Menyambut Munas Tarjih, Forum Muhammadiyah Menjawab Isu Kekinian (1)
This entry was posted on Thursday, April 01, 2010 and is filed under
Berita
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Thursday, April 01, 2010
| Author:
0 komentar: